Tuesday, September 25, 2012

Persegi (5)

Di dalam lift kebetulan hanya mereka berdua.

"Bray, ini cem mana nya sebenarnya kondisinya. Sudahlah, kita cut saja semua kesepakatan dengan Marzuki. Kita sudah seperti sapi perah buat dia. Masih mending kita sapi perahan ini dikasih makan rumput yang enak. Lah ini, tidak ada hasilnya seperti itu si Marzuki dodol itu! Masa untuk ngeberesin provokator itu saja dia minta tambahan 50 lagi. Apa yang rutin kita kasih selama ini tidak cukup?", kata Jojo tampak gusar sambil setengah teriak.

"Santai Jo. Dia boleh saja membuat kita sapi perahan, tapi kita tidak akan kasih susu enak lagi buat dia.", sambut Bray.

"Maksudnya?"

"Gue mau tunjukkin lu sesuatu, tenang aja. ", kata Bray setengah berbisik.

"Ting!". Lift sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Keduanya beranjak keluar lift sambil masih terlibat pembicaraan sengit mengenai pertunjukkan yang dimaksud Bray.

"Udah, pesan kopi dulu kita. Selow lah." ujar Bray.

"Sea salt caramel mocha, grande", ujar Jojo.

"Make it double". Bray mengeluarkan uang dari saku sebelah kanannya untuk membayar.

"Haiya, sejak kapan kau yang bayar kopi. Simpan sana, uang lu ga laku disini Bray", kata Jojo sambil mendorongkan tangannya ke arah bahu Bray.

"Hahahaha", Bray tertawa lebar menggelegar, membuat heboh seisi Starbucks. Hampir semua mata tertuju kearah suara tawanya. Namun beberapa detik kemudian semua pandangan beralih ke semula.

Persegi (4)

Rahangnya kembali mengeras. Tangannya masih mengepal. Masih terasa panas buku-buku jemarinya. Kendati ruangan kantornya cukup besar, kemungkinan sekretarisnya di luar ruangan tetap mendengar gebrakan mejanya, meski samar. Napasnya mendengus seolah baru saja lari maraton 10 kilometer. Pak Marzuki meminta tambahan 50 lagi, Pap. Demikian pesan yang terbaca di layar iPhonenya. Kemudian, Jojo menelpon seseorang,  tak lama dia pun berbicara memberi sejumlah instruksi, lalu menutup telponnya. Selesai menelpon, Jojo membereskan laptopnya serta berbagai berkas yang terserak di atas mejanya, lantas beranjak dari ruangan kantornya.

"Rin, saya ada urusan sebentar di luar. Meeting dengan Pak Daniel di-reschedule ke jam 2 siang saja, ya."

"Baik, Pak." Wajah Rini masih setengah waswas. Bukan sekali ini saja dia sayup-sayup mendengar suara meja digebrak dari ruangan bosnya itu, tapi tak ayal jantungnya sempat tersentak tadi.

Setengah berlari Jojo keluar gedung kantornya, di depan lobby mobilnya sudah menunggu. Tiyo, sopirnya, sudah memarkir mobil sejak beberapa menit lalu. "Ke kantor partai, Yo," ujar Jojo begitu duduk di kursi belakang.

Mobil pun melaju.

Jojo kembali menelpon seseorang. "Bray, si Marzuki lama-lama bikin gua naik darah. Iya, gua tahu itu, tapi gua nggak tahu mesti ke siapa lagi. Lu tolong cari jaringan lainlah. Si Marzuki lama-lama minta gua matiin kali, nih, orang. Gua nggak tahu ntar sore mesti ngomong apa ke Pak Onggal. Iya, dia ama si Saut ngajak ketemu ntar sore. Lu bisa dateng nggak? Ya, sudah gua tunggu." Klik.

****

Nama sebenarnya adalah Raymond. Tapi, sobat-sobat terdekatnya biasa memanggilnya "Bray". Tak ada yang tahu persis kenapa mesti "Bray". Mungkin juga kependekan dari Bro Ray, atau juga Bung Ray atau ada juga yang menyangka nama tadi adalah kependekan dari cutbray, model celana panjang yang melebar mulai dari lutut ke bawah. Bray memang beberapa kali memakai celana model begitu. Tubuhnya kerempeng. Mulutnya tak kunjung rampung dirudung asap. Seolah asap rokok adalah oksigen bagi paru-parunya. Kendati penampilannya eksentrik, tapi jangan ditanya pengaruhnya di dunia hitam. Pemilik ratusan rumah judi serta tempat pelacuran ini sudah melang melintang di dunia itu sejak lama, puluhan tahun mungkin. Tapi sosok kerempengnya itu licin, bagai belut. Entah memakai mantera apa, selalu saja dia lolos dari jerat hukum walaupun nyata-nyata hampir sebagian besar tindakan kriminal dia pernah lakoni. Kepiawaiannya ngomong, membuat dia juga dikenal sebagai Pangeran Lobi-lobi. Jaringannya luas, mulai dari jaringan tukang pukul sampai jaringan politikus kelas atas, presiden pun mungkin pernah dia ajak ngobrol.

Siang itu juga dia mendatangi kantor Partai Nasionalisme Tinggi, di sana sudah menunggu Jojo, sahabatnya sejak kecil. Dia menunggu di ruang tamu sambil terus merokok, padahal itu ruangan ber-AC. Tapi tak ada yang berani menegur, petugas keamanan pun diam saja. Semua sudah mahfum, orang ini bukan orang sembarangan. Dia adalah sahabat dekat orang nomor dua di partai ini.

"Eh, Bray. Sudah lama?" Jojo menghampiri Bray yang tadinya tampak hendak mendekati seorang gadis, salah satu staff di partai.

"Ah, belom terlalu lama. By the way, siapa, tuh?" pandangannya masih tertumbuk pada gadis yang kini berdiri di dekat ruang resepsionis, tengah berbicara dengan operator telpon.

"Alah, masih aja lu! Kita ngobrol di Starbucks depan situ aja, ya. Atau mau sambil makan? Gua, sih, belom lapar."

"OK, gua juga belum lama udah makan tadi."

Keduanya pun keluar kantor partai, menuju lift.

"Matiin rokok lu!"

"Iye, iye." Bray mematikan rokoknya di standing ashtray di depan pintu lift.

Persegi (3)

Muka Jojo masih merengut.
Kerutan-kerutan di dahinya tampak lebih tebal dari biasanya.
Sekali-sekali dia membentur-benturkan gigi geraham belakang kanannya sehingga mulutnya mengeluarkan suara gertak gigi secara periodik.
Terlihat sekali Jojo masih gusar karena percakapan barusan yang baru saja dia lakukan.

Jojo mengeluarkan iPhone5nya. Jari telunjuknya menyentuhkan beberapa sentuhan ke layarnya.
Beberapa detik kemudian, Jojo tampak sibuk dengan layar di depannya itu.
Wajahnya mulai cooling-down.
 Dan tiba-tiba saja,

"Braaaaaaaaakkkkkkk !!!!!"