Tuesday, September 25, 2012

Persegi (4)

Rahangnya kembali mengeras. Tangannya masih mengepal. Masih terasa panas buku-buku jemarinya. Kendati ruangan kantornya cukup besar, kemungkinan sekretarisnya di luar ruangan tetap mendengar gebrakan mejanya, meski samar. Napasnya mendengus seolah baru saja lari maraton 10 kilometer. Pak Marzuki meminta tambahan 50 lagi, Pap. Demikian pesan yang terbaca di layar iPhonenya. Kemudian, Jojo menelpon seseorang,  tak lama dia pun berbicara memberi sejumlah instruksi, lalu menutup telponnya. Selesai menelpon, Jojo membereskan laptopnya serta berbagai berkas yang terserak di atas mejanya, lantas beranjak dari ruangan kantornya.

"Rin, saya ada urusan sebentar di luar. Meeting dengan Pak Daniel di-reschedule ke jam 2 siang saja, ya."

"Baik, Pak." Wajah Rini masih setengah waswas. Bukan sekali ini saja dia sayup-sayup mendengar suara meja digebrak dari ruangan bosnya itu, tapi tak ayal jantungnya sempat tersentak tadi.

Setengah berlari Jojo keluar gedung kantornya, di depan lobby mobilnya sudah menunggu. Tiyo, sopirnya, sudah memarkir mobil sejak beberapa menit lalu. "Ke kantor partai, Yo," ujar Jojo begitu duduk di kursi belakang.

Mobil pun melaju.

Jojo kembali menelpon seseorang. "Bray, si Marzuki lama-lama bikin gua naik darah. Iya, gua tahu itu, tapi gua nggak tahu mesti ke siapa lagi. Lu tolong cari jaringan lainlah. Si Marzuki lama-lama minta gua matiin kali, nih, orang. Gua nggak tahu ntar sore mesti ngomong apa ke Pak Onggal. Iya, dia ama si Saut ngajak ketemu ntar sore. Lu bisa dateng nggak? Ya, sudah gua tunggu." Klik.

****

Nama sebenarnya adalah Raymond. Tapi, sobat-sobat terdekatnya biasa memanggilnya "Bray". Tak ada yang tahu persis kenapa mesti "Bray". Mungkin juga kependekan dari Bro Ray, atau juga Bung Ray atau ada juga yang menyangka nama tadi adalah kependekan dari cutbray, model celana panjang yang melebar mulai dari lutut ke bawah. Bray memang beberapa kali memakai celana model begitu. Tubuhnya kerempeng. Mulutnya tak kunjung rampung dirudung asap. Seolah asap rokok adalah oksigen bagi paru-parunya. Kendati penampilannya eksentrik, tapi jangan ditanya pengaruhnya di dunia hitam. Pemilik ratusan rumah judi serta tempat pelacuran ini sudah melang melintang di dunia itu sejak lama, puluhan tahun mungkin. Tapi sosok kerempengnya itu licin, bagai belut. Entah memakai mantera apa, selalu saja dia lolos dari jerat hukum walaupun nyata-nyata hampir sebagian besar tindakan kriminal dia pernah lakoni. Kepiawaiannya ngomong, membuat dia juga dikenal sebagai Pangeran Lobi-lobi. Jaringannya luas, mulai dari jaringan tukang pukul sampai jaringan politikus kelas atas, presiden pun mungkin pernah dia ajak ngobrol.

Siang itu juga dia mendatangi kantor Partai Nasionalisme Tinggi, di sana sudah menunggu Jojo, sahabatnya sejak kecil. Dia menunggu di ruang tamu sambil terus merokok, padahal itu ruangan ber-AC. Tapi tak ada yang berani menegur, petugas keamanan pun diam saja. Semua sudah mahfum, orang ini bukan orang sembarangan. Dia adalah sahabat dekat orang nomor dua di partai ini.

"Eh, Bray. Sudah lama?" Jojo menghampiri Bray yang tadinya tampak hendak mendekati seorang gadis, salah satu staff di partai.

"Ah, belom terlalu lama. By the way, siapa, tuh?" pandangannya masih tertumbuk pada gadis yang kini berdiri di dekat ruang resepsionis, tengah berbicara dengan operator telpon.

"Alah, masih aja lu! Kita ngobrol di Starbucks depan situ aja, ya. Atau mau sambil makan? Gua, sih, belom lapar."

"OK, gua juga belum lama udah makan tadi."

Keduanya pun keluar kantor partai, menuju lift.

"Matiin rokok lu!"

"Iye, iye." Bray mematikan rokoknya di standing ashtray di depan pintu lift.

No comments:

Post a Comment