Wednesday, May 29, 2013

Persegi (6)

Bray dan Jojo pun mengambil posisi duduk dekat jendela. Temaram sinar matahari pagi itu sedikit menghangatkan tempat mereka mengobrol. Kursi kayu dengan bantalan busa empuk mengiringi pembicaraan mereka berdua.

"Jadi sudah lah, Marzuki itu kita biarkan saja dengan rencana semula. Kita mainkan dia supaya dia jadi pionnya, jadi kalau pun ada apa-apa, kita aman", ujar Jojo dengan semangat.

"Ya ok lah kalau memang begitu. Cuma lu yakin untuk mengorbankan si Marzuki ini? Nanti bakalan jadi masalah ga tuh?", kata Bray seraya menyeruput kopi hangatnya.

"Itu biar gua yang atur. Pokoknya yang penting kita tidak usah sentuh permasalahan ini lebih dalam. Kita cukup di permukaan saja," Jojo menyahut.

Bray mengangguk tanda setuju. Kemudian sambil mengelus-elus permukaan samping gelasnya yang berisi kopi dia setengah berbisik ke Jojo, "Terus kapan elu kasih gua yang lebih oke dari Fanny?"

Keduanya menyeringai.

"Hahaha, suka elu ya? Mau gua minta antar sekarang?", kata Jojo.

Bray melolot dengan mimik seolah terkejut. Jojo meraih iPhonenya dan menghubungi seseorang.

Hari di luar semakin terik, namun keduanya masih tetap asik dengan kopinya.

Tuesday, September 25, 2012

Persegi (5)

Di dalam lift kebetulan hanya mereka berdua.

"Bray, ini cem mana nya sebenarnya kondisinya. Sudahlah, kita cut saja semua kesepakatan dengan Marzuki. Kita sudah seperti sapi perah buat dia. Masih mending kita sapi perahan ini dikasih makan rumput yang enak. Lah ini, tidak ada hasilnya seperti itu si Marzuki dodol itu! Masa untuk ngeberesin provokator itu saja dia minta tambahan 50 lagi. Apa yang rutin kita kasih selama ini tidak cukup?", kata Jojo tampak gusar sambil setengah teriak.

"Santai Jo. Dia boleh saja membuat kita sapi perahan, tapi kita tidak akan kasih susu enak lagi buat dia.", sambut Bray.

"Maksudnya?"

"Gue mau tunjukkin lu sesuatu, tenang aja. ", kata Bray setengah berbisik.

"Ting!". Lift sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Keduanya beranjak keluar lift sambil masih terlibat pembicaraan sengit mengenai pertunjukkan yang dimaksud Bray.

"Udah, pesan kopi dulu kita. Selow lah." ujar Bray.

"Sea salt caramel mocha, grande", ujar Jojo.

"Make it double". Bray mengeluarkan uang dari saku sebelah kanannya untuk membayar.

"Haiya, sejak kapan kau yang bayar kopi. Simpan sana, uang lu ga laku disini Bray", kata Jojo sambil mendorongkan tangannya ke arah bahu Bray.

"Hahahaha", Bray tertawa lebar menggelegar, membuat heboh seisi Starbucks. Hampir semua mata tertuju kearah suara tawanya. Namun beberapa detik kemudian semua pandangan beralih ke semula.

Persegi (4)

Rahangnya kembali mengeras. Tangannya masih mengepal. Masih terasa panas buku-buku jemarinya. Kendati ruangan kantornya cukup besar, kemungkinan sekretarisnya di luar ruangan tetap mendengar gebrakan mejanya, meski samar. Napasnya mendengus seolah baru saja lari maraton 10 kilometer. Pak Marzuki meminta tambahan 50 lagi, Pap. Demikian pesan yang terbaca di layar iPhonenya. Kemudian, Jojo menelpon seseorang,  tak lama dia pun berbicara memberi sejumlah instruksi, lalu menutup telponnya. Selesai menelpon, Jojo membereskan laptopnya serta berbagai berkas yang terserak di atas mejanya, lantas beranjak dari ruangan kantornya.

"Rin, saya ada urusan sebentar di luar. Meeting dengan Pak Daniel di-reschedule ke jam 2 siang saja, ya."

"Baik, Pak." Wajah Rini masih setengah waswas. Bukan sekali ini saja dia sayup-sayup mendengar suara meja digebrak dari ruangan bosnya itu, tapi tak ayal jantungnya sempat tersentak tadi.

Setengah berlari Jojo keluar gedung kantornya, di depan lobby mobilnya sudah menunggu. Tiyo, sopirnya, sudah memarkir mobil sejak beberapa menit lalu. "Ke kantor partai, Yo," ujar Jojo begitu duduk di kursi belakang.

Mobil pun melaju.

Jojo kembali menelpon seseorang. "Bray, si Marzuki lama-lama bikin gua naik darah. Iya, gua tahu itu, tapi gua nggak tahu mesti ke siapa lagi. Lu tolong cari jaringan lainlah. Si Marzuki lama-lama minta gua matiin kali, nih, orang. Gua nggak tahu ntar sore mesti ngomong apa ke Pak Onggal. Iya, dia ama si Saut ngajak ketemu ntar sore. Lu bisa dateng nggak? Ya, sudah gua tunggu." Klik.

****

Nama sebenarnya adalah Raymond. Tapi, sobat-sobat terdekatnya biasa memanggilnya "Bray". Tak ada yang tahu persis kenapa mesti "Bray". Mungkin juga kependekan dari Bro Ray, atau juga Bung Ray atau ada juga yang menyangka nama tadi adalah kependekan dari cutbray, model celana panjang yang melebar mulai dari lutut ke bawah. Bray memang beberapa kali memakai celana model begitu. Tubuhnya kerempeng. Mulutnya tak kunjung rampung dirudung asap. Seolah asap rokok adalah oksigen bagi paru-parunya. Kendati penampilannya eksentrik, tapi jangan ditanya pengaruhnya di dunia hitam. Pemilik ratusan rumah judi serta tempat pelacuran ini sudah melang melintang di dunia itu sejak lama, puluhan tahun mungkin. Tapi sosok kerempengnya itu licin, bagai belut. Entah memakai mantera apa, selalu saja dia lolos dari jerat hukum walaupun nyata-nyata hampir sebagian besar tindakan kriminal dia pernah lakoni. Kepiawaiannya ngomong, membuat dia juga dikenal sebagai Pangeran Lobi-lobi. Jaringannya luas, mulai dari jaringan tukang pukul sampai jaringan politikus kelas atas, presiden pun mungkin pernah dia ajak ngobrol.

Siang itu juga dia mendatangi kantor Partai Nasionalisme Tinggi, di sana sudah menunggu Jojo, sahabatnya sejak kecil. Dia menunggu di ruang tamu sambil terus merokok, padahal itu ruangan ber-AC. Tapi tak ada yang berani menegur, petugas keamanan pun diam saja. Semua sudah mahfum, orang ini bukan orang sembarangan. Dia adalah sahabat dekat orang nomor dua di partai ini.

"Eh, Bray. Sudah lama?" Jojo menghampiri Bray yang tadinya tampak hendak mendekati seorang gadis, salah satu staff di partai.

"Ah, belom terlalu lama. By the way, siapa, tuh?" pandangannya masih tertumbuk pada gadis yang kini berdiri di dekat ruang resepsionis, tengah berbicara dengan operator telpon.

"Alah, masih aja lu! Kita ngobrol di Starbucks depan situ aja, ya. Atau mau sambil makan? Gua, sih, belom lapar."

"OK, gua juga belum lama udah makan tadi."

Keduanya pun keluar kantor partai, menuju lift.

"Matiin rokok lu!"

"Iye, iye." Bray mematikan rokoknya di standing ashtray di depan pintu lift.

Persegi (3)

Muka Jojo masih merengut.
Kerutan-kerutan di dahinya tampak lebih tebal dari biasanya.
Sekali-sekali dia membentur-benturkan gigi geraham belakang kanannya sehingga mulutnya mengeluarkan suara gertak gigi secara periodik.
Terlihat sekali Jojo masih gusar karena percakapan barusan yang baru saja dia lakukan.

Jojo mengeluarkan iPhone5nya. Jari telunjuknya menyentuhkan beberapa sentuhan ke layarnya.
Beberapa detik kemudian, Jojo tampak sibuk dengan layar di depannya itu.
Wajahnya mulai cooling-down.
 Dan tiba-tiba saja,

"Braaaaaaaaakkkkkkk !!!!!"

Saturday, February 4, 2012

Persegi (2)

Denting komposisi Chopin mengisi ruang kerja Jojo. Sebuah bunyi lain terselip di antara Nocturne in E Flat Major. Sebuah ping dari BB di atas meja kerjanya. "Sore nanti Pak Saut mau ketemu. Soal proyek di Jalan Pramuka. Jam enam di Java Bistro. Dia mau ketemu kamu langsung soal ini." Itu BBM dari, Fanny, isterinya. Jojo kembali memandangi layar laptopnya. Membuka arsip berisi berkas-berkas proyek apartemen di daerah Jalan Pramuka yang tampaknya masih bermasalah dengan urusan pembebasan tanah. Sebenarnya proyek itu ditangani langsung isterinya, namun untuk beberapa urusan Jojo terkadang turun tangan. Dilihatnya beberapa berkas mengenai perjanjian pembebasan tanah, ditelitinya lagi isi surat perjanjian itu. Tak lama ia meraih BB-nya, memilik kontak Pak Marzuki lantas menelpon orang itu. "Pak Marzuki? Selamat siang, Pak. Urusan pembebasan tanah di Jalan Pramuka bermasalah lagi? Bukannya sudah sempat deal dengan perwakilan warga di sana?" kata Jojo.

"Begini. Ada provokator baru, Pak Jojo, yang memanas-manasi warga agar meminta nilai yang lebih besar. Saya masih mencoba mencari tahu provokator itu. Bapak tenang saja dulu. Dalam beberapa hari ini akan saya bereskan," jawab suara dari balik BB.

"Saya tidak bisa menunggu beberapa hari, Pak. Dua bulan lagi sudah dijadwalkan untuk peletakan batu pertama. Mestinya minggu depan kita sudah bisa mulai membuka lahannya. Saya tidak mau buang-buang duit untuk urusan yang sepele model begitu. Saya cek tadi copy perjanjian sudah lengkap. Nilainya pun sudah bagus. Kenapa tiba-tiba ada perubahan seperti ini? Nggak profesional sekali cara kerja kalian. Dan sore nanti saya akan ketemu dengan pimpinan kontraktornya. Saya mesti bilang apa? Pokoknya siang ini Anda harus bereskan urusan itu. Jam tiga sore nanti saya tunggu hasilnya. Selamat siang." Jojo langsung memutuskan hubungan. Kemudian dia memilih kontak isterinya. "Kau lagi di mana? Tadi saya sudah menelpon Marzuki. Ada provokator yang memanas-manasi warga, katanya. Ya... ya... dia emang nggak bener kerjanya. Kau desak lagi itu si Marzuki supaya bisa kerja cepat. Aku bilang jam tiga nanti urusannya sudah mesti selesai. Mungkin dia minta tambah. Kau bawa aja lagi sekitar sepuluh jutaan buat dia. Minta Pak Sofyan dampingi kamu. OK, sebentar lagi aku balik ke kantor. Masih ada sedikit urusan di Partai. Bye."

Sunday, January 15, 2012

Persegi (1)

"Rin, Tolong segera masukkan dokumen ini ke dalam amplop dan kirim ke Pak Burhanudin", instruksi Jojo kepada sekretarisnya.

"Baik Pak", kata Rini sambil tersenyum simpul bermakna.

Jojo pun berlalu segera ke ruangannya lagi.

Dokumen segera dimasukkan ke dalam amplop berwarna coklat tanpa Rini melihat isinya. Di cap PRIVATE AND CONFIDENTIAL, dan langsung disegel lem seadanya. Rini termasuk pegawai baru, sekretaris Jojo baru kurang lebih 2 bulan. Sebagai pegawai baru di Partai Nasionalisme Tinggi dia berparas cukup cantik dan polos. Kulit putih berpadu dengan potongan rambut lurusnya yang di poni ke depan memberikan kesan ke kanak-kanakan. Kuku jarinya tidak di cat, dibiarkan apa adanya. Bulu matanya lentik tanpa mengada-ngada, ditambah alis mata yang tipis tanpa guratan pensil warna.

Di meja Rini bertumpuk sejumlah dokumen yang luar biasa banyaknya, tapi tertata dengan rapih dan tidak terkesan berantakan. Komputer di mejanya nyala dengan tampilan layar Microsoft Excel kosong tanpa ketikan apapun. Di samping mejanya masih tampak sisa sarapan bubur ayam yang belum dia habiskan.

Jojo sendiri adalah kepala bidang administrasi di Partai Nasionalisme Tinggi. Tampangnya penuh wibawa berimbang dengan suaranya yang berat dengan intonasi rendah. Hari ini Jojo cukup sibuk dengan urusan surat menyurat, karena masa-masa pemilihan sudah tinggal 2 tahun lagi dan dia butuh banyak persiapan untuk melobi calon-calon pendukung untuk partainya.


Sunday, January 1, 2012

Simetri (7)

Siang perlahan semakin tinggi. Adalah suara teriakan tetangga sebelah rumah yang membuat mata Andi kontan membelalak. Dua laki-bini itu kembali bertengkar. Sang isteri berteriak-teriak minta cerai, si suami membentak-bentak menyuruh diam. Andi tak segera bangkit. Dia mencoba memejamkan mata lagi. Diliriknya jam di telpon genggamnya. Sudah pukul sebelas. Dilihatnya pula ada tiga pesan mampir ke telpon genggamnya itu. Dari Jarot. Memintanya datang ke stasiun sore nanti. Ada tugas baru. Tidak disebutkan di situ tugas apa. Dua pesan lagi dari Astuti. Pelacur yang tinggal di ujung gang, yang sudah beberapa bulan ini dipacarinya. Minta diantarkan ke Pasar Tanah abang. Tidak juga disebutkan untuk keperluan apa. Andi mengecek pulsa. Tinggal dua ribu rupiah. Satu pesan pendek dia kirimkan ke Astuti, memohon maaf tidak bisa menemani ke Tanah Abang karena ada tugas. Satu lagi ke Jarot, mengetikkan kata "OK", lalu dia bangun. Ibunya sedang melayani pembeli di warung yang menyatu dengan rumahnya. "Tadi Astuti mampir kemari, nanyain kamu. Aku bilang kau masih tidur. Tadinya ibu mau membangunkan kamu, tapi Astuti bilang nggak usah. Terus dia pergi," ujar Dariah setelah pembeli berlalu. Andi mengamat-amati dagangan ibunya. "Tolong kau belikan dulu obat nyamuk sepuluh dos. Sudah habis, tuh," kata ibunya lagi. "Ada lagi, Bu?" Ibunya menggeleng, sebatang rokok sudah terselip di bibirnya. Tak lama, Andi sudah menghilang di balik bilik kamar mandi.