Monday, December 19, 2011

Simetri (6)

Gang tempat Andi tinggal adalah sebuah lokasi perumahan kumuh di tepi sungai. Rumah-rumah disitu hampir tidak ada yang tegak berdiri, semua oyong ke kanan atau ke kiri karena hanya bertopangkan kayu usang berumur puluhan tahun yang setiap malam tertiup angin malam. Dinding rumah berlapiskan bilik bambu satu lapis atau dua lapis. Untuk menahan sengat matahari, atap seng dilapisi dari dalam dengan kain-kain perca yang dibungkus oleh kain panjang bekas spanduk.
Tanah di perumahan ini adalah campuran antara plastik dan tanah yang tercecer dari tumpukan sampah-sampah yang dikumpulkan oleh para pemulung yang tinggal disitu. Hampir setiap hari anak-anak kecil bermain dengan bertemankan sampah plastik dari berbagai macam sisa potongan botol air mineral.
Sungai yang mengalir di pinggir perumahan ini sudah berwarna coklat menuju ke hitam. Sanking keruhnya, walaupun dangkal tapi dasar sungainya sudah tidak terlihat lagi. Semua kegiatan mandi, cuci, dan kaskus berlangsung di sungai ini. Walaupun sudah jorok, bagi penduduk disini sungai ini adalah penyelamat mereka, penerus kehidupan mereka, karena tanpa sungai ini mereka tidak mungkin sanggup membayar air PAM yang biaya per bulannya mungkin hampir sama dengan gaji pemulung selama 1 bulan.
Perumahan tempat andi tinggal bersebelahan persis dengan perumahan KPR Sederhana yang bentuk rumahnya sudah apik dan dicat bersih, dibatasi dengan tembok yang tinggi tanpa akses masuk untuk penduduk kampung.
Andi tidak lahir disini, tapi sedari kecil dia sudah ada disini. Dia pun tidak ingat mulai dari kapan dia berada di kampung ini, yang pasti ada suatu bagian hidupnya yang hilang, atau mungkin sengaja ia lupakan.

Wednesday, November 30, 2011

Simetri (5)

Kejadian sore tadi bukan pengalaman baru bagi Andi. Sudah dua tahun dia menjalaninya, tapi selalu saja pada akhirnya dia merasa kacau. Bukan karena bahaya yang menghadang, bukan lantaran ancaman kematian bisa saja dia alami, bukan juga lantaran dia harus memacu adrenalinnya menghadapi berbagai kemungkinan, namun ada sesuatu hal yang mengganggu pikirannya, menghentak-hentak saraf-saraf otaknya. setiap kali selesai melakukannya, ada yang kerap mengusik hatinya. Apakah ini saatnya nuraninya berbisik, mengungkapkan bahwa ini nggak benar dan harus diakhiri? Tapi ketika pikirannya menyadari kondisi yang dia alami, bahwa hanya ini jalan yang harus dia ambil, bahwa ini adalah jalur yang sudah harus ia lalui, kembali otak dan hatinya mengacaukan jalan pikirannya. Dia bangkit dari tidurnya, terduduk di tepi dipan. Dia melangkah keluar. Di teras rumahnya yang sempit, Andi duduk di balai yang sudah dipenuhi tambalan kayu di sana-sini. Asap rokok memenuhi udara. Gang sempit itu menyisakan simfoni yang lain lagi. Sudah pukul tiga pagi. Dengkur tetangga sayup dia dengar. Kadang diselingi suara gerak tikus-tikus got berikut cericitnya.

Kemudian dia teringat ibunya. Hanya wanita itu satu-satunya yang dia miliki, dia sayangi. Dia akan melakukan apapun agar bisa membuat wanita itu tersenyum. Dia tahu, sudah setahun ini senyum itu telah pergi dari bibir Dariah, ibunya. Entah apa yang membuat senyum itu pergi. Mungkin juga penyakitnya, mungkin juga bayangan kematian yang sudah di depan mata.  Mungkin pula bayangan masa lalunya yang gelap yang membuatnya begitu. Masa lalu dan masa yang akan datang menghantui hidup ibunya, merenggut senyum di bibir ibunya yang dulu sangat sering diulasnya. Baik itu senyum tulus, atau senyum lantaran pekerjaannya dulu mengharuskan dia selalu tersenyum.

Adzan subuh lamat-lamat mulai terdengar. Andi masuk lagi ke dalam. Tak disangka ibunya sudah bangun. Di sudut kamarnya, tengah melipat pakaian-pakaian yang habis dicuci.

"Pagi amat bangunnya, Bu?" tanya Andi dari balik gordyn yang disibakkannya.

"Tadinya ibu kebelet kencing, tapi habis itu nggak bisa tidur lagi."

Andi membalikkan tubuhnya, hendak menuju kamarnya lagi. Mendadak kantuk kembali membebani kelopak matanya.

Tuesday, November 29, 2011

Simetri (4)

Diterangi oleh lampu pijar 10 watt di dalam kamar berbungkus bilik, Andi masih belum terlelap. Matanya melotot bagai tak bisa tertutup, pembuluh darah yang berwarna merah seakan mencuat keluar tanda dia sedang berkonsentrasi akan sesuatu. Pandangannya mengarah menembus ke atap rumah di mana ada langit hitam kelam berpadu dengan hujan yang mengguyur malam itu. Kosong.

Dipikiran Andi berkecamuk slide-slide kejadian tadi siang di atas metromini warna merah nomor 91 yang dia naiki. Ia bersama Simanjuntak naik dari pintu depan metromini, sementara kedua kawannya yang lain Ali dan Jhon naik lewat pintu belakang. Secara sekelebat mereka scanning semua penumpang yang ada di atas bus. Dengan cepat dan menggunakan kode khusus mereka memilih target, ada wanita duduk dengan terkantuk-kantuk dan ada pria setengah baya yang sepertinya anak kuliah berdiri di tengah bus.

"JANCUKKK...COPEEEET!!!", korban copet teriak begitu sadar dompetnya raib dalam hitungan detik. 

Kontan semua penumpang panik termasuk semua kawan Andi yang ada di dalamnya. Mereka semua berhamburan keluar bus dan berlari berlawanan arah dengan arus mobil, sekuat tenaga sampai-sampai tempat sampah segede gaban tidak terlihat oleh matanya. Terjatuh dan kesakitan, namun insting ketakutan seolah seperti obat dopping memaksanya untuk langsung berdiri dan berlari lagi sekuat tenaga tanpa terpincang-pincang.

Empat jam setelah berpencar, seperti biasa Andi dan kawan-kawan copetnya bertemu di tempat rahasia mereka, sebuah warteg emperan di daerah cililitan.

"Ini jatahmu Ndi!", kata Jhon, sang pemimpin copet.

Andi merauk uang yang disodorkan Jhon dan memasukkannya ke kantong bajunya tanpa menengoknya sedikitpun, kemudian langsung melanjutkan makan sorenya. Kawan-kawannya yang lain mendapat bagian yang berbeda-beda tergantung tingkat kesulitan yang mereka lakukan dalam proses pencopetan hari itu.


Malam ini rasa sakitnya baru mulai terasa oleh Andi sampai-sampai tulang-tulangnya terasa ngilu semua. Sisa malam itu, Andi menghabiskannya dengan suara ringisan bercampur dengan bau balsem gosok yang menyengat.

Friday, November 25, 2011

Simetri (3)

Kerling mata Dariah telah menangkap bayangan tubuh Andi yang mendekatinya. "Jenggot sudah ubanan gitu, kok, ya masih minta disediain makan," ujar Dariah yang segera menancapkan pandangannya kembali ke  lembar-lembar majalah. Dia memandangi cukup lama sebuah artikel tentang resep masakan.

Andi hanya tertawa lalu menggoyang-goyangkan bungkusan kantong plastik di depan wajah ibunya. "Nih, Bu, Andi bawain sate ayam. Makan, yuk!"

Aroma saos kacang dari bungkusan sate ayam tu menusuk penciuman Dariah. Juga wajahnya masih menangkap hawa panas dari dalam bungkusan itu. Andi tak menunggu respon ibunya yang tak terlalu antusias. Dia langsung menuju dapur, yang hanya dipisahkan sebuah bufet. Terdengar bunyi denting  piring bersentuhan. Tak seberapa lama dia sudah membawa piring berisi sepuluh tusuk sate ayam serta potogan-potongan lontong. Dia meletakkan piring berisi sate ayam ke atas meja kecil di dekat Dariah duduk lantas memindahkan lima tusuk sate ke dalam piring baru yang dia tumpuk jadi satu dengan piring berisi sate tadi. "Nih, buat Ibu," katanya sambil menyodorkan piring berisi lima tusuk sate beserta beberapa potong lontong ke arah Dariah.

Dariah meletakkan majalah yang dia baca, lantas menerima piring dari Andi."Beli sate di mana kamu?"

"Satenya Bang Udin."

"Ujan-ujan gini dia masih jualan?"

"Masih, tuh."

"Tumben, beli sate segala. Bisanya cuma gorengan," Dariah menyungging senyumnya.

"Yah, lagi ada rezeki lumayan." Andi juga tersenyum. Rezeki yang berhasil saya rampas dari orang lain, Bu. Andi membatin. Matanya masih mengamati wajah ibunya yang masih  mengunyah makanan pelan-pelan, seperti tak bersemangat. Tapi ini yang bisa Andi bikin, batinnya lagi. Dunia di luar sana tak memberi kita banyak pilihan dan tidak punya waktu untuk mengurusi nasib kita. Kita harus mengurus diri kita sendiri, dengan cara kita sendiri. Sambil terus mengunyah sate, tusuk demi tusuk, tak henti-henti pikiran itu mengisi kepalanya.

Malam makin merayap. Hujan hanya meninggalkan gerimisnya. Tinggal sepi. Tinggal hening. Hening yang mengalir bersama riak selokan yang masih banjir.

Thursday, November 24, 2011

Simetri (2)

"Maak, makan!", teriak Andi.

Seperti biasa, sebagai anak satu-satunya di keluarga Andi sudah berlaku seperti anak dan juga kepala keluarga. Selama sekitar 10 tahun terakhir semenjak Ayah Andi meninggal, semua nafkah keluarga bertumpu pada Andi seorang. Andi sebenarnya anak yang cukup pintar, dahulu dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas Ia hampir selalu masuk sepuluh besar. Guru-gurunya sering memuji. Satu guru berujar katanya Andi ini cocok kalau jadi penulis karena tulisannya memiliki daya fantasi yang luar biasa dan mampu memukau teman-temannya ketika dia ceritakan di depan kelas. Teman-teman sekolahnya juga sering bilang bahwa Andi ini calon wakil rakyat karena kecakapannya berbicara dan mempengaruhi teman. Tak pelak, Dariah sebagai ibunya sering dibuat tersipu malu karena pujian-pujian untuk anaknya.

Tapi kemudian semuanya berubah ketika Ayah Andi meninggal dunia. Andi menjadi anak yang pendiam. Hampir semua perilaku berubah drastis. Dari yang ceria menjadi muram, dari yang aktif menjadi pasif. Ayahnya memang merupakan idola Andi. Sosok Ayah yang adalah seorang marinir membuat Andi menjadi bangganya luar biasa. Di mata Andi, Ayahnya adalah superhero-nya, yang tidak ada cacat cela. Beliaulah yang menjadi panutan dalam pembentukan watak dan perilakunya Andi. Tapi kemudian Ayahnya meninggal karena kecelakaan di mobil, tertabrak kereta api. Yang mengagetkan, saat itu sang Ayah meninggal di dalam mobil tidak sendiri, melainkan bersama seorang wanita yang kemudian diketahui adalah selingkuhannya. Semenjak itulah Andi memandang kehidupan ini dengan berbeda.

Simetri (1)

Temaram senja menggelapar terguyur hujan sejak sore tadi. Aliran air tumpah dari celah selokan, menebarkan bau tak sedap dari berbagai jenis sampah yang tadinya menyumbat gorong-gorong itu. Sepi langsung membalut gang sempit yang biasanya gaduh oleh cekikikan dan lelarian bocah-bocah, serta celoteh penghuni gang yang membincangkan beragam topik. Tentang suami yang selingkuh, tentang bekas pacar yang masih sering datang mengeluh, tentang bintang sinetron yang kawin dengan si itu atau cerai dengan si anu. Bahkan tentang kucing yang sering menggarong makanan di balik tudung saji. Namun senja itu segala jenis obrolan itu terkatup oleh derai hujan yang membungkusnya bersama dingin yang sumpek. Di kejauhan tetap terdengar adzan maghrib, kendati samar tertutup gemuruh hujan.

Di dalam rumahnya yang agak pengap, Dariah masih menekuni majalah wanita terbitan beberapa bulan lalu dengan kening berkerut. Suara derai hujan di luar mengisi ruang tengah yang agak remang karena cahaya lampu sepertinya sudah hampir tamat. Bunyi percikan air yang menetes dari atap yang bocor ke dalam ember yang menadahinya menemani simfoni alam di luar sana. Wajah Dariah yang kini mulai surut termakan usia itu memandangi halaman demi halaman majalah dengan mata yang sepertinya tak benar-benar tertanam pada halaman-halaman itu. Di balik mata itu, di dalam pikirannya, tampaknya begitu banyak bayangan-bayangan yang berkelindan. Mata yang telah berkantung dan sedikit mengantuk itu seolah menyimpan begitu banyak kisah. Usianya sebentar lagi menyentuh lima puluhan, namun kerut yang menjalari kening maupun seputar matanya seolah menambah sekian puluh tahun dari usia sebenarnya itu. Kendati begitu, barisan bulu halus yang rimbun membentuk garis yang begitu rapi memayungi sepasang matanya serta lengkung hidung yang melandai indah menandakan wajah cekung itu pernah mengundang mata siapa saja tak bosan menatapnya.

Terdengar ada orang yang membuka kunci pintu ruang depan yang hanya dipisahkan sebuah sekat tripleks dari tempat Dariah duduk. Dari bunyi gerak-gerik langkahnya, Dariah tahu itu Andi. Anak muda berambut agak gondrong, berusia 31 tahun dan akan beranjak 32 dalam tiga bulan ke depan adalah anaknya semata wayang. Tatapan mata anak itu seolah menyimpan letupan api kecil. Bukan tatapan berisi letupan penuh amarah. Sepasang mata itu bagaikan sudah sejak lahir menyimpan titik api itu dalam segala keadaan. Termasuk malam ini. Andi tidak sedang membara, justru hatinya sumringah karena hasil pembagian copetannya bersama kelompoknya lumayan hari itu. Kendati ia hanya sebagai tukang oper, kali ini korban yang baru saja dicopetnya mungkin baru saja menarik uang dari ATM karena didapati uang tunai satu setengah juta rupiah di dalamnya. Setelah dibagi rata sesuai tugas masing-masing, Andi mendapat dua ratus ribu rupiah. Terbilang besar dibanding perolehan tiga bulan terakhir ini.

Andi mengibas-ngibaskan jaketnya ke arah luar, mengusir butiran air hujan yang menempel di jaketnya itu. Dingin perlahan menyusup melewati celah pintu yang daunnya telah terbuka tadi. Lumayan, mengusir sumpek. Dariah batuk sesekali sambil tetap membaca. Andi menggantung jaketnya di paku yang ditancapkan di dekat pintu yang sudah ditutupnya dengan sedikit usaha karena pintu kayu itu sudah termakan lembab sehingga agak mengembang dan sulit disesakkan ke liangnya.

Kolam-kata

Kolam-kata
Ya, tempat kita nyebur, berenang, nyelam, di dalam kata-kata.
Terus keluar dari kolam penuh kata-kata, basah kuyup ama kata-kata.

Authors:
Raymond Soedira.
Julbintor Kembaren.