Wednesday, November 30, 2011

Simetri (5)

Kejadian sore tadi bukan pengalaman baru bagi Andi. Sudah dua tahun dia menjalaninya, tapi selalu saja pada akhirnya dia merasa kacau. Bukan karena bahaya yang menghadang, bukan lantaran ancaman kematian bisa saja dia alami, bukan juga lantaran dia harus memacu adrenalinnya menghadapi berbagai kemungkinan, namun ada sesuatu hal yang mengganggu pikirannya, menghentak-hentak saraf-saraf otaknya. setiap kali selesai melakukannya, ada yang kerap mengusik hatinya. Apakah ini saatnya nuraninya berbisik, mengungkapkan bahwa ini nggak benar dan harus diakhiri? Tapi ketika pikirannya menyadari kondisi yang dia alami, bahwa hanya ini jalan yang harus dia ambil, bahwa ini adalah jalur yang sudah harus ia lalui, kembali otak dan hatinya mengacaukan jalan pikirannya. Dia bangkit dari tidurnya, terduduk di tepi dipan. Dia melangkah keluar. Di teras rumahnya yang sempit, Andi duduk di balai yang sudah dipenuhi tambalan kayu di sana-sini. Asap rokok memenuhi udara. Gang sempit itu menyisakan simfoni yang lain lagi. Sudah pukul tiga pagi. Dengkur tetangga sayup dia dengar. Kadang diselingi suara gerak tikus-tikus got berikut cericitnya.

Kemudian dia teringat ibunya. Hanya wanita itu satu-satunya yang dia miliki, dia sayangi. Dia akan melakukan apapun agar bisa membuat wanita itu tersenyum. Dia tahu, sudah setahun ini senyum itu telah pergi dari bibir Dariah, ibunya. Entah apa yang membuat senyum itu pergi. Mungkin juga penyakitnya, mungkin juga bayangan kematian yang sudah di depan mata.  Mungkin pula bayangan masa lalunya yang gelap yang membuatnya begitu. Masa lalu dan masa yang akan datang menghantui hidup ibunya, merenggut senyum di bibir ibunya yang dulu sangat sering diulasnya. Baik itu senyum tulus, atau senyum lantaran pekerjaannya dulu mengharuskan dia selalu tersenyum.

Adzan subuh lamat-lamat mulai terdengar. Andi masuk lagi ke dalam. Tak disangka ibunya sudah bangun. Di sudut kamarnya, tengah melipat pakaian-pakaian yang habis dicuci.

"Pagi amat bangunnya, Bu?" tanya Andi dari balik gordyn yang disibakkannya.

"Tadinya ibu kebelet kencing, tapi habis itu nggak bisa tidur lagi."

Andi membalikkan tubuhnya, hendak menuju kamarnya lagi. Mendadak kantuk kembali membebani kelopak matanya.

No comments:

Post a Comment