Thursday, November 24, 2011

Simetri (1)

Temaram senja menggelapar terguyur hujan sejak sore tadi. Aliran air tumpah dari celah selokan, menebarkan bau tak sedap dari berbagai jenis sampah yang tadinya menyumbat gorong-gorong itu. Sepi langsung membalut gang sempit yang biasanya gaduh oleh cekikikan dan lelarian bocah-bocah, serta celoteh penghuni gang yang membincangkan beragam topik. Tentang suami yang selingkuh, tentang bekas pacar yang masih sering datang mengeluh, tentang bintang sinetron yang kawin dengan si itu atau cerai dengan si anu. Bahkan tentang kucing yang sering menggarong makanan di balik tudung saji. Namun senja itu segala jenis obrolan itu terkatup oleh derai hujan yang membungkusnya bersama dingin yang sumpek. Di kejauhan tetap terdengar adzan maghrib, kendati samar tertutup gemuruh hujan.

Di dalam rumahnya yang agak pengap, Dariah masih menekuni majalah wanita terbitan beberapa bulan lalu dengan kening berkerut. Suara derai hujan di luar mengisi ruang tengah yang agak remang karena cahaya lampu sepertinya sudah hampir tamat. Bunyi percikan air yang menetes dari atap yang bocor ke dalam ember yang menadahinya menemani simfoni alam di luar sana. Wajah Dariah yang kini mulai surut termakan usia itu memandangi halaman demi halaman majalah dengan mata yang sepertinya tak benar-benar tertanam pada halaman-halaman itu. Di balik mata itu, di dalam pikirannya, tampaknya begitu banyak bayangan-bayangan yang berkelindan. Mata yang telah berkantung dan sedikit mengantuk itu seolah menyimpan begitu banyak kisah. Usianya sebentar lagi menyentuh lima puluhan, namun kerut yang menjalari kening maupun seputar matanya seolah menambah sekian puluh tahun dari usia sebenarnya itu. Kendati begitu, barisan bulu halus yang rimbun membentuk garis yang begitu rapi memayungi sepasang matanya serta lengkung hidung yang melandai indah menandakan wajah cekung itu pernah mengundang mata siapa saja tak bosan menatapnya.

Terdengar ada orang yang membuka kunci pintu ruang depan yang hanya dipisahkan sebuah sekat tripleks dari tempat Dariah duduk. Dari bunyi gerak-gerik langkahnya, Dariah tahu itu Andi. Anak muda berambut agak gondrong, berusia 31 tahun dan akan beranjak 32 dalam tiga bulan ke depan adalah anaknya semata wayang. Tatapan mata anak itu seolah menyimpan letupan api kecil. Bukan tatapan berisi letupan penuh amarah. Sepasang mata itu bagaikan sudah sejak lahir menyimpan titik api itu dalam segala keadaan. Termasuk malam ini. Andi tidak sedang membara, justru hatinya sumringah karena hasil pembagian copetannya bersama kelompoknya lumayan hari itu. Kendati ia hanya sebagai tukang oper, kali ini korban yang baru saja dicopetnya mungkin baru saja menarik uang dari ATM karena didapati uang tunai satu setengah juta rupiah di dalamnya. Setelah dibagi rata sesuai tugas masing-masing, Andi mendapat dua ratus ribu rupiah. Terbilang besar dibanding perolehan tiga bulan terakhir ini.

Andi mengibas-ngibaskan jaketnya ke arah luar, mengusir butiran air hujan yang menempel di jaketnya itu. Dingin perlahan menyusup melewati celah pintu yang daunnya telah terbuka tadi. Lumayan, mengusir sumpek. Dariah batuk sesekali sambil tetap membaca. Andi menggantung jaketnya di paku yang ditancapkan di dekat pintu yang sudah ditutupnya dengan sedikit usaha karena pintu kayu itu sudah termakan lembab sehingga agak mengembang dan sulit disesakkan ke liangnya.

No comments:

Post a Comment