Friday, November 25, 2011

Simetri (3)

Kerling mata Dariah telah menangkap bayangan tubuh Andi yang mendekatinya. "Jenggot sudah ubanan gitu, kok, ya masih minta disediain makan," ujar Dariah yang segera menancapkan pandangannya kembali ke  lembar-lembar majalah. Dia memandangi cukup lama sebuah artikel tentang resep masakan.

Andi hanya tertawa lalu menggoyang-goyangkan bungkusan kantong plastik di depan wajah ibunya. "Nih, Bu, Andi bawain sate ayam. Makan, yuk!"

Aroma saos kacang dari bungkusan sate ayam tu menusuk penciuman Dariah. Juga wajahnya masih menangkap hawa panas dari dalam bungkusan itu. Andi tak menunggu respon ibunya yang tak terlalu antusias. Dia langsung menuju dapur, yang hanya dipisahkan sebuah bufet. Terdengar bunyi denting  piring bersentuhan. Tak seberapa lama dia sudah membawa piring berisi sepuluh tusuk sate ayam serta potogan-potongan lontong. Dia meletakkan piring berisi sate ayam ke atas meja kecil di dekat Dariah duduk lantas memindahkan lima tusuk sate ke dalam piring baru yang dia tumpuk jadi satu dengan piring berisi sate tadi. "Nih, buat Ibu," katanya sambil menyodorkan piring berisi lima tusuk sate beserta beberapa potong lontong ke arah Dariah.

Dariah meletakkan majalah yang dia baca, lantas menerima piring dari Andi."Beli sate di mana kamu?"

"Satenya Bang Udin."

"Ujan-ujan gini dia masih jualan?"

"Masih, tuh."

"Tumben, beli sate segala. Bisanya cuma gorengan," Dariah menyungging senyumnya.

"Yah, lagi ada rezeki lumayan." Andi juga tersenyum. Rezeki yang berhasil saya rampas dari orang lain, Bu. Andi membatin. Matanya masih mengamati wajah ibunya yang masih  mengunyah makanan pelan-pelan, seperti tak bersemangat. Tapi ini yang bisa Andi bikin, batinnya lagi. Dunia di luar sana tak memberi kita banyak pilihan dan tidak punya waktu untuk mengurusi nasib kita. Kita harus mengurus diri kita sendiri, dengan cara kita sendiri. Sambil terus mengunyah sate, tusuk demi tusuk, tak henti-henti pikiran itu mengisi kepalanya.

Malam makin merayap. Hujan hanya meninggalkan gerimisnya. Tinggal sepi. Tinggal hening. Hening yang mengalir bersama riak selokan yang masih banjir.

No comments:

Post a Comment